Dulu waktu kita masih kecil, kita punya si Inner Child, yang bisa dibilang kayak versi kecil kita. Dia itu kayak sumber rasa penasaran, keingintahuan, dan emosi-emosi bawaan dari masa kecil. Inner child ini gak pernah beranjak dewasa, dia tetap hidup di dalam diri kita, dan kadang muncul dalam bentuk kecemasan, kebingungan, atau kebahagiaan dalam kehidupan dewasa.
Nah oleh karena itu, disini kita bakal bahas topik seru nih, yang pastinya pernah bikin kepala kita bingung khususnya jika dikaitkan dengan bagaimana budaya, agama, serta faktor sosial bisa jadi arsitek di balik pola asuh kita. Mari kita bahas satu-satu:
Cara Budaya Mempengaruhi Inner Child
Bayangin, kita dibesarkan dalam budaya yang sangat menghargai kemandirian dan ketegasan. Inner child kita mungkin tumbuh dengan keyakinan kuat bahwa menangis itu lemah. Akhirnya, kita jadi dewasa yang gak suka nangis dan kesulitan berbagi emosi dengan orang lain.
Tapi, di budaya yang menghargai ekspresi emosi, inner child kita bisa tumbuh dengan lebih percaya diri dalam berbicara tentang perasaan. Jadi, budaya bisa bawa inner child kita ke arah yang berbeda-beda.
Peran Agama dalam Pola Asuh
Agama sering banget jadi landasan pola asuh. Misalnya, dalam agama tertentu, pemahaman mengenai dosa dan penebusan bisa mempengaruhi cara orang tua mendidik anak. Kalau ada kelebihan aturan dalam agama, bisa jadi inner child kita tumbuh dengan perasaan bersalah yang lebih besar. Sebaliknya, agama juga bisa jadi sumber kebahagiaan dan kedamaian bagi inner child kita.
Faktor Sosial dan Inner Child
Faktor sosial juga ikut meramaikan pesta dalam perkembangan inner child kita. Jika kita tumbuh di lingkungan yang mendukung, inner child kita mungkin lebih percaya diri dan memiliki pola asuh yang positif. Di sisi lain, jika kita tumbuh dalam keluarga yang sering mengalami konflik atau stres ekonomi, inner child kita mungkin tumbuh dengan kecemasan dan pola asuh yang berfokus pada kelangsungan hidup.
Memahami dan Merawat Inner Child
Bagaimana sih caranya? Pertama, kita perlu mengenali inner child kita, apa yang dia butuhkan, dan apa yang dia rasakan. Terus, kita bisa menggali nilai-nilai budaya, agama, dan faktor sosial yang mempengaruhi inner child kita.
Kedua, kita bisa mencoba untuk mengintegrasikan inner child kita dalam kehidupan dewasa. Mungkin dengan menjalani aktivitas yang membuat kita bahagia, mengekspresikan emosi dengan lebih terbuka, atau mencari dukungan dari terapis jika diperlukan.
So guys, inner child kita itu kayak pahlawan dalam cerita kita sendiri. Dia tumbuh dengan warna-warni pengalaman budaya, agama, dan faktor sosial yang membentuk pola asuh kita. Dengan lebih memahami dan merawatnya, kita bisa jadi lebih seimbang dan bahagia dalam kehidupan dewasa. Ingat, setiap inner child itu unik, dan nggak ada yang salah atau benar dalam cara dia tumbuh.
Referensi :
Cappcchiaone, Lucia. 2022. Inner Child Healing: A Guide to Healing Your Past and Creating a More Loving Future.

Comments
Post a Comment